Selasa, 24 Juni 2014

Ketika Kecantikan Menjadi Sebuah Ujian

Aku menatap jelas perempuan yang duduk tepat didepanku saat aku menumpangi angkutan umum yang mengantarkanku ke tempatku pergi menuntut ilmu. Tempat kost-kostanku tidak jauh dengan kampusku, cukup naik 1 kali angkutan umum pun juga bisa.
Perempuan itu sungguh cantik sekali, wajahnya tidak membosankan untuk kulihat, aku berkata dalam hatiku, andai saja aku ini kaum adam, aku pasti jatuh cinta padanya. Perempuan itu sepertinya mulai risih saat mataku ini tak henti memperhatikan gerak-geriknya. Rambutnya terurai sebahu, tatapan matanya itu begitu sensual, bibir tipisnya pun juga tak kalah dengan tatapannya, sensual.
Tiba-tiba perempuan itu pun turun dari angkutan umum yang aku tumpangi, rupanya ia lebih dulu dari pada aku. Saat ia akan turun dari tempat duduknya itu, tampak begitu repot sekali. Tangan kirinya selain menenteng tas yang ia bawa ia juga harus menutupi pada bagian leher bajunya yang terlalu lebar sehingga belahan pada dadanya itu terlihat, dan tangan kanannya harus menutupi belakang bajunya, karna jika ia menunduk maka bagian-bagian yang tidak diinginkan pun akan terlihat juga.  Ia pun turun dari angkutan umum dengan mulut yang komat-kamit. Entah ia merasa direpotkan dengan pakaiannya atau memang merasa risih, karna sejak aku duduk, mataku tak henti memperhatikannya.
5 menit kemudian aku minta diberhentikan tepat didepan kampusku. Aku pun tak lupa membayar ongkos yang biasa aku berikan sebesar Rp 1500,. Sesampai aku di kelas, aku menceritakan perempuan yang tadi lihat di angkutan umum pada temanku, Gea. Rupanya Gea mengenali siapa perempuan itu, malah ternyata perempuan itu adalah icon kampusku yang memang terkenal, hanya aku saja yang baru melihatnya. Namanya adalah Erva.
Erva adalah mahasiswi semester 7 yang seangkatan denganku namun berbeda fakultas. Erva memang cantik dan proporsional, tak sedikit mahasiswa baik junior hingga senior yang dibuat terbelalak oleh pesonanya. Bahkan hingga dosen-dosen pun tak mampu menutupi rasa keinginannya untuk sekedar mengobrol basa-basi atau mengajak dinner. Aku cukup bangga padanya, ia memang cantik dan banyak penggemarnya, pasti dengan kecantikannya itu ia hidupnya bahagia. Erva pun menghampiri tempatku dan Gea yang sedang duduk menunggu kuliah jam kedua.
Aku pun memberikan senyum untuknya. Tapi sayang, dia begitu jutek. Mungkin dia masih kesal karna satu angkutan tadi pagi bersamaku. Aku benar-benar memuji habis-habisan pada Erva. Tapi, terdengar suara Azam yang sedang membicarakan Erva, padahal Erva itu ada disampingku. Aku gak tahu dimana letak kesopanannya Azam, bisa saja Erva itu mendengar omongan kasarnya Azam yang sedang membicarakannya.
“Bro, si Erva cantik ya ! Sayang gak bertudung. “ cerita Azam dengan berbisik hingga terdengar sampai ke kupingku, pada salah satu teman kelasku juga Akhsan.
“Munafik lo zam, gue tahu mantan-mantan pacar lo juga kebanyakan gak bertudung, kenapa lo menyayangkan Erva gak bertudung ?” jawab Sidiq, dan jika aku ada dalam perdebatannya aku akan sangat pro sekali sama jawaban Sidiq.
“Justru itu bro, gue hanya mampu bertahan 1 sampai 3 bulan dengan mantan-mantan gue yang gak bertudung, dibanding dengan mantan terakhir gue...”
Azam pun tidak melanjutkan jawabannya itu, lalu Sidiq pun meminta Azam untuk meneruskan jawabannya itu.
“Mantan terakhir lo siapa ? Chika kan ? Dia juga tidak bertudung zam !”
“Mantan terakhir gue itu Nafissa bro, lo gak tau dia siapa, karna hubungan gue sama Nafissa hanya sampai 2 minggu. “ tukas Azam dengan wajah yang kecewa.
Erva pun pergi dari tempat duduk tepat disampingku. Aku pun menegur Azam untuk tidak membicarakan Erva.
“Azam ! gara-gara lo Erva pergi noh ! Lo gak kira-kira kalau ngomongin orang tuh !”
Ternyata Azam tidak menyadari Erva duduk disampingku. Azam pun malah dengan lantang menceritakan mantan pacar terakhirnya itu, dan tanpa sadar aku pun terbawa hanyut oleh cerita cinta Azam.
Mantan pacar terakhir Azam adalah Nafissa, mahasiswa PTN di Bandung juga. Menurut Azam, Nafissa gak kalah cantik dengan Erva, hanya saja Nafissa lebih memberikan kesan penasaran, meskipun ia tidak bertudung, tapi ia mampu menutupi bagian-bagian yang memang sensitif. Lain halnya dengan Erva, yang selalu berpakaian ketat. Azam memang berniat serius pada Nafissa, hanya saja Nafissa lebih pintar melihat kelakuan Azam yang memang sering bergonta-ganti pacar dan terlebih sering juga Azam membawa perempuan masuk ke kamar kostnya. Dengan alasan ada tugas kuliah yang tidak ia mengerti.
Azam pernah memberi tantangan pada Nafissa,
“Naf, kamu itu cantik sayang. Tapi lebih cantik lagi kalau kamu bertudung!Aku pengen lihat kamu bertudung.”
Nafissa pun mengangguk tanda setuju. 3 hari kemudian Nafissa meminta Azam untuk menemuinya di kampus Nafissa.
Azam sangat terkagum-kagum pada Nafissa, menurutnya dari sekian banyak mantan-mantannya itu hanya Nafissa yang mampu menerima tantangan dari Azam. Sayangnya Nafissa punya rencana lain.
“Naf, subhannallah benar kataku naf, kamu cantik banget!”
“Allhamdulillah zam, kamu sudah memberi bahan untukku, sampai-sampai aku hampir lupa sama janjiku sama Allah!”
Saat mendengar jawaban Nafissa, Azam tampak tersenyum bangga akan dirinya sendiri, karna ia bisa menaklukan perempuan paling cantik menurutnya.
“Syukurlah naf, kalau ternyata keinginanku ini memang janjimu sama Allah.”
“Azam, aku bertudung bukan karna semata-mata aku mengiyakan keinginan kamu. Kita ini masih pacaran, dan hanya baru 2 minggu. Aku memang sudah ada niatan untuk bertudung saat aku semester 1 dan aku akan semakin memantabkan jika aku sudah menikah nanti, tetapi tak sia-sia istikharahku sepanjang aku saat semester 1 hingga semalam tadi memberikan jawaban bahwa ini saatnya aku bertudung dan memilih pilihan calon hidupku!
Ada perasaan kecewa dan sekali lagi sedikit bangga akan dirinya Azam juga, karna Azam sudah yakin, Azam akan dipilih untuk menjadi calon dikehidupannya Nafissa. Padahal jawaban Nafissa,...
“Hubungan kita cukup disini saja Azam!”
Nafissa meninggalkan Azam saat itu juga hingga sekarang ini. Azam begitu kecewa dan menaruh dendam pada Nafissa. Tampak wajahnya memerah saat Azam menceritakan bagian kisahnya yang satu ini.
 Dari kasat mataku, Azam terlalu egois. Menurutnya semua perempuan-perempuan yang ia pacari itu harus menuruti apa keinginan Azam. Azam memang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, jadi semasa hidupnya memang selalu dimanjakan oleh harta-harta yang dimiliki orang tuanya. Berapa banyak perempuan yang disakiti oleh Azam hingga berdatangan kekelasku. Saat perempuan-perempuan yang memang cantik itu berlutut dihadapan Azam, jawaban Azam hanya simple.
“Hei sudah jangan berlutut gitu, aku bukan Tuhan kamu sayang. Nomor rekening kamu berapa ? Nanti pulang kuliah aku transfer !”

Aku gak tahu asal-muasal cerita cinta mereka itu seperti apa, yang jelas Azam selalu menjawab seperti itu, “Nomor Rekening”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar