Jumat, 06 Juni 2014

Belum Ada Judul

Tiga tahun yang lalu itu aku masih berstatuskan mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung yang memiliki segudang... (prestasi?) masalah. Mulai dari sulitnya bangun tidur di pagi hari, sulitnya beradaptasi dengan mata kuliah inti, sulitnya menerima keadaan bahwa, “Bunga ! Saya harus bilang berapa kali sama kamu, kamu itu kenapa sih tiap mata kuliah saya ini gak pernah lulus. Ini sudah kedua kalinya kamu gak lulus, dan sekali lagi saya kasih kesempatan kamu bertemu saya dengan mahasiswa-mahasiswa junior di semester mendatang.”
Aku mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu sejak aku semester dua hingga semester enam dan terhenti saat aku semester delapan. Tuhan begitu baik padaku, aku lulus di semester sepuluh, memang aku tertinggal diantara yang lainnya, tapi tak apalah, toh endingnya aku tetap lulus dengan IPK memuaskan. Lumayan.
2 bulan setelah aku menyandang gelar Sarjana Ekonomi, aku mendapatkan pekerjaan yang cocok dengan hatiku, sayangnya aku harus berangkat ke Jakarta, karna penempatan kerjaku di Jakarta. Penuh tangis dan haru saat kedua orangtuaku mengantarkan kepergianku, padahal aku di Jakarta bukan di Singapura, tetapi orang tuaku menangisiku seolah aku akan pergi jauh, ya maklum mungkin karna aku anak satu-satunya.
“Nak, ingat ya kamu harus kabarin ayah selalu ! Pagi saat kamu bangun tidur, siang saat kamu makan siang, sore saat kamu pulang dari kantor dan malam saat kamu akan tidur. “
Ayahku memberi petuah yang sangat panjang sekali. Sampai-sampai aku hampir lupa dalam satu minggunya.
“Unge!! Kamu ini kebiasaan ya gak ngabarin ayah. Sudah berapa kali yah bilang sama kamu, kabarin terus ayah dalam satu hari itu! “ ayahku protes, saat aku sedang jam kerja, pukul 10.00 pagi.
“Aduh ayah...Unge sibuk yah, ayah tahu ini Unge lagi dimana ?” tanyaku pada ayah yang sedang memegang shower.
“Memangnya kamu ini dimana ? “
“Unge di toilet ayah. Unge udah 3 hari belakangan ini diare terus yah !”
Ayah malah langsung menutup telponnya. Namun 15 menit kemudian, aku mencoba bertahan hidup dengan diareku ini. Aku kembali ke meja kerjaku, saat aku duduk, teman kerjaku Bowo menatapku dengan tajam dan penciuman yang sinis.
“Bowo, lo apa-apaan sih ngelihat gue kayak lihat penjahat aja!” tanyaku pada Bowo yang sedang menyalakan musik di meja kerjaku.
“Jadi lo pelakunya ya ?” jawab Bowo dengan menunjuk-nunjuk kearahku.
“Lo apa-apaan sih. Makin gak ngerti gue!” tanyaku lagi dan tidak menghiraukan Bowo.
“Jadi lo yang bolak-balik toilet dan lo gak siram tokai-tokai kepunyaan lo itu!”
Saat itu juga aku langsung menyekap Bowo dan mengikatnya lalu aku aku masukkan kedalam karung, dan tak lupa aku memberinya obat CTM 5 butir (CTM=Obat alergi gatal-gatal yang menyebabkan kantuk) yang aku paksakan agar Bowo mau meminumnya. Lalu aku buang Bowo ke gudang belakang.
Serammmmm!!
Bowo membuatku kaget untung saja volume suara Bowo tidak terlalu kuat. Akhirnya aku berikan rokok mahal sejakarta raya untuk Bowo sebagai tanda persahabatan yang erat, agar Bowo tidak menceritakan rasahasia agent FBInya ini.
Handphone aku pun berbunyi lagi dan nomornya tidak aku kenal, yang jelas ini dari Bandung.
“Halo !”
“Iya selamat siang Unge. Saya Dokter Agus dari Klinik Antapani Sentosa. Unge barusan Pak Suryadi Jasmin menelepon saya, katanya kamu sedang diare sudah 3 harian ya ? Saya akan menuju kantornya Unge ya sekarang !”
“Apa ? Itu kan ayah, dok sebentar dok, disini juga banyak dokter kok, saya juga sekarang mau izin ke kantor mau periksakan diare saya ini !”
Terdengar dari dokter Agus itu seperti kontra mendengar jawabanku itu, tapi ayah kali ini khawatirnya kebangetan. Di jakarta juga banyak klinik dan rumah sakit, masa iya yang dari Bandung harus bela-belain ke Jakarta, malah nambah besar biaya yang ada.  Aku pun  menelepon ayah, untuk memberi kabar bahwa aku sudah ditangani oleh dokter disini, yang letaknya tidak jauh dari kantorku.
Ada yang membuat mataku tertuju pada billboard yang menginformasikan ada pameran photography di Braga Bandung pada hari sabtu nanti. Aku pun memberikan informasi ini pada Bowo, karna Bowo memang sangat menyukai dunia photography. Bowo pun setuju hari sabtu nanti ia akan ikut bersamaku ke Bandung.
Sabtu...
Aku dan Bowo sampai di Braga, Bowo pun tak lupa membawa kamera tercintanya.
Saat aku duduk manis di Sweet Cafe, di balik kaca jendela itu aku melihat seorang pria yang tengah berpakaian perlente yang sedang mengatur para karyawannya. Aku tanpa Bowo saat itu, karna Bowo sedang mengitari pameran photography dan aku memutuskan aku untuk menunggunya saja disini.
Aku menatap tajam siapa pria itu, dan akhirnya pria itu tepat bertatapan denganku. Aku pun memberikan senyum untuknya, dan pria itu pun membalasnya. Aku mengenalinya..
“Hai mas, sedang apa disini kayaknya lagi sibuk ya?” tanyaku seraya berjabat tangan dengannya.
“Saya lagi kerja disini. Sendirian aja kamu Bung ? “ jawabnya dan sekaligus bertanya padaku.
“Aku bareng sama temanku mas, cuma dia lagi lihat-lihat pameran di luar sana.”
Aku dan mas Endro pun mengobrol panjang sampai aku lupa kemana Bowo hingga jam sekarang ia belum kembali ke cafe ini.
Aku pun berpamitan dengan mas Endro untuk menyusul Bowo. Dan tak lupa kami bertukeran pin bbm.
Mas Endro dulunya adalah dosen yang tidak meluluskanku dimata kuliah ekonomi hingga dua kali, selain menjadi dosen, sekarang ia menjadi CEO di Sweet Cafe. Setelah aku lulus kuliah mas Endro selalu meminta untuk ditemani ke toko buku milik ibuku dengan alasan ada lowongan pekerjaan yang cocok untukku, dari situlah awal mulanya mas Endro ingin dipanggil dengan sebutan mas, agar tidak ada senioritas diantara kami katanya.


Bersambung... 
Mau belajar dulu penulisnya buat negara Indonesia supaya semakin berjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar