Tiga tahun yang lalu itu aku masih berstatuskan
mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung yang memiliki segudang...
(prestasi?) masalah. Mulai dari sulitnya bangun tidur di pagi hari, sulitnya
beradaptasi dengan mata kuliah inti, sulitnya menerima keadaan bahwa, “Bunga ! Saya harus bilang berapa kali sama
kamu, kamu itu kenapa sih tiap mata kuliah saya ini gak pernah lulus. Ini sudah
kedua kalinya kamu gak lulus, dan sekali lagi saya kasih kesempatan kamu bertemu
saya dengan mahasiswa-mahasiswa junior di semester mendatang.”
Aku mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu sejak
aku semester dua hingga semester enam dan terhenti saat aku semester delapan.
Tuhan begitu baik padaku, aku lulus di semester sepuluh, memang aku tertinggal
diantara yang lainnya, tapi tak apalah, toh endingnya aku tetap lulus dengan IPK
memuaskan. Lumayan.
2 bulan setelah aku menyandang gelar Sarjana
Ekonomi, aku mendapatkan pekerjaan yang cocok dengan hatiku, sayangnya aku
harus berangkat ke Jakarta, karna penempatan kerjaku di Jakarta. Penuh tangis
dan haru saat kedua orangtuaku mengantarkan kepergianku, padahal aku di Jakarta
bukan di Singapura, tetapi orang tuaku menangisiku seolah aku akan pergi jauh,
ya maklum mungkin karna aku anak satu-satunya.
“Nak, ingat ya kamu harus kabarin ayah selalu ! Pagi
saat kamu bangun tidur, siang saat kamu makan siang, sore saat kamu pulang dari
kantor dan malam saat kamu akan tidur. “
Ayahku memberi petuah yang sangat panjang sekali.
Sampai-sampai aku hampir lupa dalam satu minggunya.
“Unge!! Kamu ini kebiasaan ya gak ngabarin ayah.
Sudah berapa kali yah bilang sama kamu, kabarin terus ayah dalam satu hari itu!
“ ayahku protes, saat aku sedang jam kerja, pukul 10.00 pagi.
“Aduh ayah...Unge sibuk yah, ayah tahu ini Unge lagi
dimana ?” tanyaku pada ayah yang sedang memegang shower.
“Memangnya kamu ini dimana ? “
“Unge di toilet ayah. Unge udah 3 hari belakangan
ini diare terus yah !”
Ayah malah langsung menutup telponnya. Namun 15
menit kemudian, aku mencoba bertahan hidup dengan diareku ini. Aku kembali ke
meja kerjaku, saat aku duduk, teman kerjaku Bowo menatapku dengan tajam dan
penciuman yang sinis.
“Bowo, lo apa-apaan sih ngelihat gue kayak lihat
penjahat aja!” tanyaku pada Bowo yang sedang menyalakan musik di meja kerjaku.
“Jadi lo pelakunya ya ?” jawab Bowo dengan
menunjuk-nunjuk kearahku.
“Lo apa-apaan sih. Makin gak ngerti gue!” tanyaku
lagi dan tidak menghiraukan Bowo.
“Jadi lo yang bolak-balik toilet dan lo gak siram
tokai-tokai kepunyaan lo itu!”
Saat itu juga aku langsung menyekap Bowo dan
mengikatnya lalu aku aku masukkan kedalam karung, dan tak lupa aku memberinya
obat CTM 5 butir (CTM=Obat alergi gatal-gatal yang menyebabkan kantuk) yang aku
paksakan agar Bowo mau meminumnya. Lalu aku buang Bowo ke gudang belakang.
Serammmmm!!
Bowo membuatku kaget untung saja volume suara Bowo
tidak terlalu kuat. Akhirnya aku berikan rokok mahal sejakarta raya untuk Bowo
sebagai tanda persahabatan yang erat, agar Bowo tidak menceritakan rasahasia
agent FBInya ini.
Handphone aku pun berbunyi lagi dan nomornya tidak
aku kenal, yang jelas ini dari Bandung.
“Halo !”
“Iya
selamat siang Unge. Saya Dokter Agus dari Klinik Antapani Sentosa. Unge barusan
Pak Suryadi Jasmin menelepon saya, katanya kamu sedang diare sudah 3 harian ya
? Saya akan menuju kantornya Unge ya sekarang !”
“Apa ? Itu kan ayah, dok sebentar dok, disini juga
banyak dokter kok, saya juga sekarang mau izin ke kantor mau periksakan diare
saya ini !”
Terdengar dari dokter Agus itu seperti kontra
mendengar jawabanku itu, tapi ayah kali ini khawatirnya kebangetan. Di jakarta
juga banyak klinik dan rumah sakit, masa iya yang dari Bandung harus
bela-belain ke Jakarta, malah nambah besar biaya yang ada. Aku pun
menelepon ayah, untuk memberi kabar bahwa aku sudah ditangani oleh
dokter disini, yang letaknya tidak jauh dari kantorku.
Ada yang membuat mataku tertuju pada billboard yang
menginformasikan ada pameran photography di Braga Bandung pada hari sabtu
nanti. Aku pun memberikan informasi ini pada Bowo, karna Bowo memang sangat
menyukai dunia photography. Bowo pun setuju hari sabtu nanti ia akan ikut
bersamaku ke Bandung.
Sabtu...
Aku dan Bowo sampai di Braga, Bowo pun tak lupa
membawa kamera tercintanya.
Saat aku duduk manis di Sweet Cafe, di balik kaca
jendela itu aku melihat seorang pria yang tengah berpakaian perlente yang
sedang mengatur para karyawannya. Aku tanpa Bowo saat itu, karna Bowo sedang
mengitari pameran photography dan aku memutuskan aku untuk menunggunya saja
disini.
Aku menatap tajam siapa pria itu, dan akhirnya pria
itu tepat bertatapan denganku. Aku pun memberikan senyum untuknya, dan pria itu
pun membalasnya. Aku mengenalinya..
“Hai mas, sedang apa disini kayaknya lagi sibuk ya?”
tanyaku seraya berjabat tangan dengannya.
“Saya lagi kerja disini. Sendirian aja kamu Bung ? “
jawabnya dan sekaligus bertanya padaku.
“Aku bareng sama temanku mas, cuma dia lagi
lihat-lihat pameran di luar sana.”
Aku dan mas Endro pun mengobrol panjang sampai aku
lupa kemana Bowo hingga jam sekarang ia belum kembali ke cafe ini.
Aku pun berpamitan dengan mas Endro untuk menyusul
Bowo. Dan tak lupa kami bertukeran pin bbm.
Mas Endro dulunya adalah dosen yang tidak
meluluskanku dimata kuliah ekonomi hingga dua kali, selain menjadi dosen, sekarang
ia menjadi CEO di Sweet Cafe. Setelah aku lulus kuliah mas Endro selalu meminta
untuk ditemani ke toko buku milik ibuku dengan alasan ada lowongan pekerjaan
yang cocok untukku, dari situlah awal mulanya mas Endro ingin dipanggil dengan
sebutan mas, agar tidak ada senioritas diantara kami katanya.
Bersambung...
Mau
belajar dulu penulisnya buat negara Indonesia supaya semakin berjaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar